Dia beralasan, kapasitas jalan menjadi penyebab masih susahnya membuat lajur khusus bagi pengendara sepeda. Untuk itu, diperlukan penambahan kapasitas ruas jalan. Sementara untuk mewujudkan hal ini, akan memakan waktu lama serta anggaran yang tidak sedikit.
“Untuk sekarang, bersepeda baru bisa dilakukaan saat hari bebas kendaraan bermotor atau car free day saja,” ucapnya.
Ditanya kapan target pembuatan jalur sepeda ini akan mulai dibuat, Udar mennjawab, belum bisa memberikan target. Karena sejauh ini, menurutnya, mengatur lajur kendaraan pribadi saja pihaknya masih kesulitan.
Udar mengimbau, untuk sementara para bikers agar menggunakan jalur yang sudah ada. “Naik sepeda boleh-boleh saja, ambil jalur lambat sebelah kiri. Jalur yang ada saat ini saja tidak mencukupi untuk kendaraan pribadi. Kita (Pemda DKI) belum bisa mengatur jalur khusus sepeda,” ungkapnya.
Pengamat tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Johansyah Siregar menyatakan, rencana Pemda DKI membuat jalur sepeda di ruas jalan protokol akan membahayakan pengendara kendaraan lainnya, termasuk pengendara sepeda sendiri.
“Pasalnya, kapasitas ruas jalan yang ada di Jakarta saat ini sangat terbatas. Bahkan tidak mampu menampung jumlah kendaraan yang selalu meningkat setiap tahunnya,” jelas Johansyah.
Dia menjelaskan, untuk sementara, Dinas Tata Kota DKI Jakarta sendiri tidak mendukung dibuatnya jalur khusus sepeda. Ini didasarkan pada penilaian adanya perbedaan mendasar antara Jakarta dan negara-negara maju yang dijadikan acuan adanya jalus khusus sepeda.
Di negara maju, jalur sepeda disediakan di kawasan lokal tertentu dan berada di tengah pemukiman. Itu pun terintegrasi dan terencana dengan jalur pejalan kaki. Karena itu dia menyarankan agar Pemrov DKI lebih memfokuskan pembangunan moda transportasi cepat massal yang efektif dan saling terintegarasi.
“Segera realisasikan mass rapid transit (MRT), monorel, transportasi pengumpan (feeder), dan terus tingkatan pelayanan bus Transjakarta,” ujarnya.
Pengamat transportasi dari UI Alviansyah menilai, rencana pembangunan jalur sepeda tidak dapat dilakukan dengan kondisi jalan saat ini. Pasalnya, pembuatan jalur sepeda tidak bisa disatukan dengan jalur kendaraan bermotor. “Jika dipaksakan, akan menuai kritik tajam, terutama permasalahan keamanan,” ujar Alviansyah.
Sebelumnya, Pemda DKI melontarkan wacana membuat jalur sepeda khusus dengan meniru pola yang diterapkan di China seperti di kota Tianjin dan Shenyang. Di kedua kota itu, hampir 65 persen penduduk mengendarai sepeda untuk perjalanan mereka.
Sebagai gambaran dari pemantauan lalu lintas di Kota Tianjin, konon lebih dari 50.000 sepeda melintas di satu persimpangan jalan dalam waktu satu jam. Di Beijing, malah ada larangan penggunaan sepeda motor untuk menekan polusi.
Sementara itu di Bogota, ibukota Kolombia, Wali Kota Bogota Enrique Penalosa (1998-2000) membangun jalur sepeda sepanjang 350 kilometer. Ini merupakan kota yang memiliki jalur sepeda terpanjang di Amerika Latin maupun di kota-kota negara berkembang lainnnya. Jalur-jalur sepeda dan pedestrian dibuat terintegrasi, serta akses yang luas sehingga menembus berbagai kawasan permukiman.
Selain perlunya jalur khusus bagi pengguna sepeda, pengelola gedung perkantoran juga dapat membangun lokasi parkir khusus untuk sepeda, karena memang transportasi ini rawan pencurian. Apalagi harga sepeda di Kolombia bisa berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 30 juta
Sementara menilik sisi sejarahnya, di Jakarta bersepeda tentu bukan barang baru. Di tahun 1950-1960, Jakarta diketahui sangat kaya akan sepeda. Sepanjang Jalan Stasiun Gambir sampai depan Harmoni terdapat jalan khusus untuk sepeda. Lebarnya cukup untuk enam sepeda.
Tak putus-putusnya sepeda berlalu di jalan itu. Pengendaranya mulai dari kalangan pedagang, pegawai negeri, termasuk siswa sekolah keluarga berada. Tidak seperti sekarang, hanya para pedagang keliling seperti pedagang siomay, bakso dan roti yang hilir-mudik di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dari arah Jalan MH Thamrin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar